"Embun tak perlu warna untuk membuat daun jatuh cinta"
Hidup adalah
pilihan. Tapi apakah kematian juga memberikan pilihan?
Ini bukan sekedar film cinta. Ini bukan
sekedar film tentang seorang yang sakit dan memaksa penonton untuk bersedih.
Ini film tentang hidup. Seperti layaknya hidup kita dihadapkan pada masalah
yang berujung pada pilihan. Seperti layaknya hidup, setiap tokoh memandang
suatu hal lewat sudut pandang yang berbeda.
Saat seseorang mempertanyakan esensi hidup,
bisa dipastikan orang tersebut sedang berada pada titik gelisah. Seorang yang
gelisah tidak akan stag.
Seorang yang gelisah akan terus "tumbuh". Seperti halnya, Vino
(Adipati Dolken) dalam kisah ini. Saat keluarganya yang mapan secara finansial
mendadak punya masalah keuangan, ia merasa tercerabut dari titik nyamannya.
Hingga ia berpikiran; Dalam
hidup. Gak ada jaminan buat terus bahagia. Gak ada jaminan buat apa pun.
Kegelisahan dan rasa marahnya, tidak tahu harus dialamatkan kepada siapa. Yang
paling mudah adalah melemparkan kemarahannya pada seseorang. Ayahnya (Surya
Saputra) sang patron yang walau selama ini tidak terlalu dekat, tapi
memanjakannya dengan segala kenyamanan. Saat ibunya (Kinaryosih) pergi, ia pun
menyalahkan ayahnya. Demikian juga saat adiknya (Geccha Qheagaveta ) mendapat
kecelakaan, yang menyeret keluarga itu ke masalah yang dulu tak pernah mereka
alami; Mereka butuh uang untuk operasi. Potret
kebanyakan wajah masyarakat menengah ke bawah dalam kehidupan nyata.
Berbeda dengan Vino yang mempertanyakan
hidup, Mura (Maudy Ayunda) mempertanyakan tentang kematian. Penyakit yang
dideritanya, membuat dia menghitung waktu. Setiap hari ia menyilang tanggal,
yang berhasil ia lalui. Kebanyakan orang menyilang tanggal untuk menuju hari
-H- yang ditunggu. Entah apa. Yang pasti hari bahagia. Sedangkan Mura menyilang
hari menunggu harinya. Saat kematiannya. Hingga tak heran, saat ia menyatakan; Kita hanya punya pilihan buat jalanin hidup? Tapi kita nggak punya pilihan,
buat mati?
Berdasarkan "latar belakang" ini
mereka bertemu. Kisah bergulir, kegelisahan demi kegelisahan, mulai terjawab.
Dalam hidup tak ada yang mudah. Kisah ini memperlihatkan bagaimana setiap
tokohnya menghadapi masalah mereka dan menyelesaikannya dengan caranya. Hingga
semuanya menuju pada titik nadir. Takdir.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana suatu
masalah adalah proses perjalanan hidup yang harus dihadapi. Penyangkalan
terhadap masalah yang datang pun, adalah bentuk dari proses. Karena hidup
adalah pilihan, penyangkalan pun adalah pilihan. Kematian memang tidak punya
pilihan. Tapi yang menjadi persoalan adalah siapa
yang tahu kapan kematian itu akan datang. Tak ada yang pernah tahu.
Karena hidup bukanlah proses menuju kematian. Hidup adalah pilihan untuk
membuatnya menjadi berarti, atau tidak berarti. Kematian hanyalah garis batas,
atas pilihan yang kita pilih...
VINO (Adipati Dolken)
adalah produk keluarga menengah ke atas yang tidak terlalu dekat dengan
keluarga. Ketidakpeduliannya berubah jadi kemarahan, setelah papanya, AMIR (Surya Saputra)
bangkrut akibat ditipu rekan bisnisnya hingga mereka pindah dari perumahan
elite ke rumah kontrakan di gang. Mamanya, MIRNA (Kinaryosih) jenis perempuan yang
baik-baik saja selama suaminya juga dalam keadaan mapan. Begitu suaminya
bangkrut, Mirna malah kabur dari rumah. Bahkan tega meninggalkan, WINA (Geccha
Qheagaveta), putrinya yang berusia 5 tahun.
Keadaan tambah parah, saat Vino nunggak SPP
hingga tiga bulan. Ia tidak terima saat pihak sekolah memberinya surat
peringatan. Karena selama ini, Amir cukup rajin memberi sumbangan buat yayasan.
Ia malah melabrak Kepala Sekolah, bahkan mengambil keputusan drastis; keluar
dari sekolah. Sementara Wina mendapat kecelakaan, terjatuh di kamar mandi
kontrakan yang kondisinya memang parah. Dari hasil rontgen Wina diharuskan
menjalani operasi, kalau tidak kakinya infeksi dan harus diamputasi.
Amir tidak punya uang untuk operasi Wina.
Vino menyalahkan Amir sebagai orangtua yang tidak bertanggungjawab; Pantas saja Mama meninggalkan Papa...Saat
Wina membutuhkan transfusi darah karena pendarahan, Suster memanggil keluarga
korban dan menyebutkan golongan darah Wina yang cukup langka; A rhesus negatif.
Vino yang mempunyai golongan darah yang sama, mengajukan diri untuk diambil
darahnya. Saat itulah, CALO
(Agus Kuncoro) yang sedang mencari pendonor jantung mendengar hal itu.
Calo mendekati Vino, ia menawari Vino untuk
menjadi pendonor jantung! Vino amat terkejut. Calo itu beralasan, ada resipien
(calon penerima jantung) yang golongan darahnya sama dengan Vino. Maka Vino
adalah pilihan yang tepat. Vino amat marah dengan Calo. Ia tidak akan menjual
jantungnya pada Calo! Tapi Calo dengan santai, berkata di Jakarta apa yang
tidak bisa dibeli?
Saat di rumah sakit itulah Vino bertemu
dengan MURA (Maudy
Ayunda), gadis cantik yang sedang duduk di ruang tunggu. Mereka bicara sangat
singkat. Bahkan mereka tidak sempat berkenalan, karena tiba-tiba ada yang
memanggil gadis cantik itu; Mura.
Ternyata ia adalah Papa Mura, LEVRAND
(Ikang Fawzi). Mereka tampak dekat satu sama lain. Sangat
berbeda dengan Vino yang hubungannya tidak harmonis dengan kedua orangtuanya.
Amir dan Vino dengan caranya masing-masing
berusaha untuk mendapatkan uang untuk operasi Wina. Tapi keduanya gagal. Vino
yang mengalami jalan buntu mengambil keputusan; menerima tawaran Calo untuk
menjadi pendonor. Calo memberinya uang muka cukup besar. Hingga Vino bisa
membiayai operasi Wina. Amir amat terkejut, ia bertanya pada Vino darimana ia
mendapatkan uang. Tapi Vino tidak mau memberitahu. Yang jelas, ia tidak
mencuri...
Vino bertemu lagi dengan Mura di rumah
sakit yang sama. Tidak terduga Vino tahu nama Mura, karena ia sempat mendengar
Levrand memanggilnya. Mura tertegun. Vino dengan santai berkata; Otak punya kemampuan menyaring mana
yang pantas diingat, mana yang tidak. Seperti sebuah nama. Namanya.
Mura...
Mura ingin menjenguk Wina. Saat menjenguk,
Mura berjanji akan memberi Wina boneka. Karena ia punya boneka banyak. Vino
mengaku kalau ia sudah tidak sekolah karena ia tidak punya biaya. Mura bilang
kalau ia homeschooling.
Vino meledek, pantes Mura punya banyak boneka. Karena ia tidak punya teman.
Mura merengut, baginya hal itu tidak berpengaruh buatnya. Ia bisa punya banyak
teman lewat jejaring sosial. Mura menilai Vino cynical. Vino malah mengajak Mura jalan,
untuk membuktikan kalau ia tidak sesinis perkiraan Mura. Esoknya, Vino mengajak
Mura untuk merasakan interaksi di dunia nyata...Mereka yang masih usia SMU
malah mendatangi kampus dan berlagak mahasiswa di situ...
Sementara itu, diam-diam Amir menjadi supir
taksi. Saat ini, hanya itulah yang bisa ia lakukan. Dengan uang dari Calo, Vino
bahkan bisa mendapatkan rumahnya kembali yang disita Bank. Semua masalah
menjadi beres. Dan Vino merasa mendadak hidupnya berwarna, karena mengenal
Mura. Vino yang awalnya sempat putus asa hingga bertransaksi dengan Calo, mulai
goyah. Ia tidak mau mendonorkan jantungnya. Kepindahannya dari rumah kontrakan
ke rumah lamanya, ia pikir bisa menghilangkan jejaknya dari Calo. Tapi
ternyata, Calo dapat menemuinya.
Vino beralasan, kalau ia tidak jadi
mendonorkan jantung. Ia akan mengembalikan uangnya pada Calo. Calo memakinya,
uang darimana?! Calo minta Vino jangan macam-macam, atau Mura akan celaka! Vino
kaget karena Calo tahu soal Mura. Ia tidak terima, Calo macam-macam pada Mura!
Calo membentaknya, kalau resipien itu adalah Mura! Vino tertegun, ia tidak
percaya...Calo meyakinkan, kalau Mura memang resipien. Tapi Mura dan Levrand
tidak tahu kalau Vino lah calon pendonor...
Vino berada di persimpangan. Ia
merasa hidupnya berwarna setelah bertemu Mura, bahkan ia berniat membatalkan
transaksi dengan Calo. Karena dengan Mura, ia melihat masa depan. Tapi di pihak
lain, kalau ia membatalkan transaksi itu, hidup Mura tidak akan bertahan
lama...Vino dihadapkan pada pilihan, ia yang mati atau Mura...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar