Konsep Jihad
Dalam Islam
1. Pengertian
Jihad
Menurut pengertian bahasa, jihad berarti
bekerja keras, bersungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan yang mulia. Kata jihad
terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar.” Jihad memang sulit dan
menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar
kata “juhd” yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan
harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “jahida
bir-rajul” yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian”. Terlihat bahwa kata
jihad mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
Para
ulama membagi jihad menjadi dua bagian, yaitu jihad thalabi (jihad yang
bersifat ofensif), kedua jihad difa’i (jihad yang bersifat defensif). Sedang
maksud dari kedua macam jihad tersebut adalah menyebarkan Dienullah, mengajak
manusia kepada Allah dan mengeluarkan mereka dari zhulumat-ilannur (kegelapan
kepada cahaya) serta untuk meninggikan Dien-Nya di bumi ini. Jihad jelas
berbeda dengan perang. Kalaupun ada ayat – ayat dalam Al-Qur’an yang
memerintahkan untuk berperang, itu pasti dalam rangka mempertahankan diri dari
gangguan dan penganiayaan pihak luar (orang kafir), seperti pasa Q.S Al-Baqarah
ayat 193 dan Q.S. al-Anfal ayat 39.
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tak ada
fitnah, dan adalah dien bagi Allah semata-mata.” (QS Al-Baqarah : 193)
“Perangilah
mereka itu sehingga tak ada fitnah dan adalah dien semua hanya milik Allah.”
(QS Al-Anfal : 39)
Dalam surat
yang lain Allah berfirman:
“Maka apabila
telah habis bulan suci, hendaklah perangi orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai
dan hendaklah ambil mereka itu menjadi tawanan dan kepunglah mereka yang
dilaluinya. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta mengeluarkan
zakat, maka bebaskanlah jalan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS At-Taubah : 5)
Sebenarnya
ayat-ayat yang semakna dengan beberapa firman Allah di atas sangat banyak. Untuk
memperjelas pengertian Jihad di atas, dapat diperhatikan beberapa hadits Nabi SAW sebagai berikut:
“Nabi
SAW bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi orang-orang hingga mereka
bersaksi (dengan sepenuh hati) bahwa tidak ada Rabb (yang patut diibadahi)
melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, dan menegakkan shalat
serta mengeluarkan zakat, maka apabila mereka mengerjakan itu semua, darah dan
harta benda mereka terpelihara dari kami, melainkan dengan hak Islam, sedang
perhitungan mereka di tangan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Ibnu Umar
ra).”
Dalam
shahih Muslim dari Thariq bin Asyyam al-Asyja’ ra, katanya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mentauhidkan Allah dan mengkufuri segala sesuatu yang di sembah selain Allah, maka harta dan darahnya haram (di ganggu), sedang perhitungannya di tangan Allah Azza wa Jalla.”
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mentauhidkan Allah dan mengkufuri segala sesuatu yang di sembah selain Allah, maka harta dan darahnya haram (di ganggu), sedang perhitungannya di tangan Allah Azza wa Jalla.”
Makna Jihad
menurut para ulama:
Madzhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’
as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan
seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna
pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik
dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.
Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di
dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang
Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat
Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki
wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan
oleh Ibn ‘Arafah.
Madzhab as
Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’,
mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.
Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya
jihad itu adalah perang.
Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy,
karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab
al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan
peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun
fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh,
menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan)
merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh
datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang
benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah
mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah
diserahkan kepadanya.
Abu Ishaq
Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada,
jihaadan, wa mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang yang
bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan
tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi
kaum kafir pada khususnya).
Al Bahuuthiy
Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara
literal, jihaad merupakan bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh)
di dalam memerangi musuhnya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qitaal
al-kufaar (memerangi kaum kafir).
Al Dimyathiy
Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad
bermakna al-qithaal fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah.
Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’ menyatakan, bahwa jihaad
bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi
(berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengan
hukum-hukumnya).
Di dalam kitab Durr
al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari
kata jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun
secara syar’iy, jihaad bermakna al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa
qataala man lam yuqabbiluhu (seruan menuju agama haq (Islam) dan memerangi
orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan jihaad
dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au
mu’awanatan bi maal au ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap
tenaga di dalam perang di jalan Allah baik secara langsung atau memberikan
bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi perang.
Imam ‘Ilaa’
al-Diin al-Kaasaaniy
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan;
secara literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim
didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga)
mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk
mubalaghah (hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu
pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ , kata jihaad digunakan untuk
menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan Allah swt, baik
dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).
Abu al-Hasan
al-Malikiy
Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan;
menurut pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang
bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan). Sedangkan
menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan untuk
meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau
terjun di tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib
dipenuhi, yakni taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga keamanan,
teguh dan tidak melarikan diri.
Imam Zarqaniy
Imam Zarqaniy, di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan;
makna asal dari kata jihaad (dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah
(kesulitan). Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu
al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut
pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal
al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).
2.
Tujuan Jihad
Tujuan utama dari berjihad di dalam
Islam adalah menghilangkan kekafiran dan kesyirikan, mengeluarkan
manusia dari gelapnya kebodohan, membawa mereka kepada cahaya iman dan ilmu,
menumpas orang-orang yang memusuhi Islam, menghilangkan fitnah, meninggikan
kalimat Allah, menyebarkan agamaNya, serta menyingkirkan setiap orang yang
menghalangi tersebarnya dakwah Islam. Jika tujuan ini dapat dicapai dengan
tanpa peperangan, maka tidak diperlukan peperangan. Tidak boleh memerangi orang
yang belum pernah mendengar dakwah kecuali setelah mendakwah mereka kepada
Islam. (Namun jika dakwah telah disampaikan) dan mereka menolak maka pemimpin
Islam harus memerintahkan mereka untuk membayar jizyah, dan jika mereka
tetap menolak, maka barulah memerangi mereka dengan memohon pertolongan Allah.
Jika
sebelumnya dakwah Islam telah sampai kaum tersebut (dan mereka tetap
menolaknya) maka boleh memerangi mereka dari sejak semula, karena Allah menciptakan manusia untuk beribadah
kepadaNya. Tidak diizinkan memerangi mereka kecuali bagi mereka yang bersikeras
mempertahankan kekafiran, atau berbuat zalim, memusuhi Islam, serta menghalangi
manusia untuk memeluk agama ini atau bagi mereka yang menyakiti kaum muslimin.
Rasulullah SAW tidak pernah memerangi satu kaumpun kecuali setelah mengajak
mereka kepada agama Islam.
3. Hikmah dan Keutamaan Jihad
Hikmah disyari'atkannya Jihad:
a. Allah
mensyari'atkan jihad di jalanNya agar kalimatNya menjadi paling tinggi
dan agama hanya untuk Allah semata,
serta mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, menyebarkan agama
Islam, menegakkan keadilan, menolak kazaliman dan kerusakan, menjaga kaum
muslimin serta menghancurkan musuh dan menolak tipu daya mereka.
b. Allah
mensyari'atkan jihad sebagai ujian dan cobaan bagi hamba-hambaNya
sehingga jelas perbedaan antara orang yang jujur dan yang dusta, antara yang
mukmin dan yang munafik, dan diketahui orang-orang yang berjihad dan bersabar.
Jihad tidak bertujuan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam, namun untuk
mengharuskan mereka agar tunduk kepada hukum-hukum Islam sehingga agama itu
hanya untuk Allah .
c. Jihad di jalan Allah merupakan salah satu pintu kebaikan yang
dengannya Allah menghilangkan
kebimbangan dan kekhawatiran serta mereka yang berjihad akan memperoleh derajat
yang tinggi di surga.
Keutamaan Jihad dapat
kita lihat dari firman Allah dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadist Nabi
Muhammad SAW. Contohnya dapat kit abaca pada Q.S. At-Taubah ayat 20-22.
20.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah
dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi
Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. 21. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh
didalamnya kesenangan yang kekal, 22.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar".. (QS At –Taubah: 20-22).
Selain ayat di atas,
ada beberapa hadist yang mengungkapkan keutamaan dalam berjihad, diantaranya:
·
Dari Abu
Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah
bersabda: "Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah – dan
Allah lebih mengetahui dengan
orang-orang yang berjihad di jalan-Nya- seperti perumpamaan orang yang berpuasa
dan melakukan shalat malam, dan Allah menjamin bagi orang-orang yang berjihad
di jalan-Nya apabila meninggal maka Dia akan memasukannya ke dalam surga, atau
kembali pulang dengan selamat dengan membawa pahala atau harta rampasan
perang" (Muttafaq 'alaih)
·
Dari Abdullah bin mas'ud t berkata: Aku bertanya kepada rasulullah r: Amalan apakah yang paling utama? Beliau menjawab: "Shalat
pada waktunya", lalu aku bertanya kembali: Kemudian apa lagi? Beliau
mejawab: "berbakti kepada kedua orang tua", lalu aku bertanya
kembali: kemudian apa? Beliau mejawab: "Jihad
dijalan Allah". (Muttafaq 'alaih).
4. Adab Dalam
Berjihad
Dalam berjihad ada beberapa adab atau aturan yang harus ditaati. Yang termasuk adab dalam
berjihad adalah tidak berbuat
khianat, tidak membunuh wanita dan anak kecil, orang tua, para pendeta dan
rahib (ahli ibadah ) yang tidak ikut berperang, akan tetapi jika mereka ikut
berperang atau mereka ikut menyusun siasat perang maka mereka boleh dibunuh.
Termasuk di antara adab berjihad adalah bersih
dari sifat ujub atau takabur, sombong dan riya' serta tidak mengharapkan
bertemu dengan musuh dan tidak boleh (menyiksa dengan) membakar manusia.
Diantaranya juga, mendakwahkan Islam
kepada musuh sebelum berperang, jika mereka tidak bersedia, maka mereka disuruh
membayar jizyah atau upeti, namun jika menolak maka mereka boleh diperangi.
Diantara adab jihad adalah berlaku sabar dan
ikhlas serta menjauhi kemaksiatan, banyak berdo'a untuk memperoleh kemenangan
dan pertolongan Allah.
5. Bentuk –
Bentuk Jihad
Jihad sebagai
salah satu wujud pengamalan ajaran Islam dapat di-laksanakan dalam berbagai
bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam. Dalam
situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk
peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat
dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu
fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar
ma’ruf nahi munkar.
·
Perang
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar
berperang di jalan Allah. Apabila kaum muslim dizalimi, fardhu kifayah bagi
kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk
peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela diri, dan
melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: "Mengapa kamu
tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik
laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa,"Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah
kami pelindung dari sisi -Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."
(Qs. an-Nisa[4]:75)
“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. al-Hajj [22] : 39). Dalam berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan, anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau meneken perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Qur’an, peperangan dilaku-kan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 193: “Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-¬orang zalim. (Qs. al-Baqarah [2] : 193)
“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. al-Hajj [22] : 39). Dalam berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan, anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau meneken perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Qur’an, peperangan dilaku-kan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 193: “Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-¬orang zalim. (Qs. al-Baqarah [2] : 193)
Demikianlah ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang
diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang
terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai,
bukan untuk permusuhan dan membuat ke-rusakan di muka bumi.
·
Haji Mabrur
Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad.
Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini
ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya:
Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah SAW : tidakkah
kamu keluar untuk berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang lebih
baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi untukmu
jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang
mabrur.
Pada riwayat al-Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad, beliau menjawab sebaik-baik jihad adalah haji.
Pada riwayat al-Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad, beliau menjawab sebaik-baik jihad adalah haji.
·
Menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang dzalim
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad
melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian
melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh
cara-cara yang damai melalui organisasi yang modern, memajukan pendidikan dan
mengembangkan kebudayaan yang mem-bawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad
melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam hadits riwayat
at-Tirmizi:
Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.
Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.
Kata A’dzam pada hadits di atas, menunjukkan bahwa upaya menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang zalim merupakan suatu perjuangan yang sangat
besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.
·
Berbakti
kepada orang tua
Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua,
tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat.
Seorang anak tetap harus menghormati orangtua-nya, meskipun seorang anak tidak
wajib taat terhadap orang tua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.
Luqman, [31] : 14).
Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.
Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya. Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.
Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbing-an, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memper-lakukan orang tua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orang tua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan kelemahan dan keku-rangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Isra [17] ayat 23:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan \"ah\" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.
Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya. Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.
Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbing-an, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memper-lakukan orang tua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orang tua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan kelemahan dan keku-rangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Isra [17] ayat 23:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan \"ah\" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
·
Menuntut Ilmu
dan Mengembangkan Pendidikan
Bentuk jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan
pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Madjah
disebutkan:
Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka la sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah).
Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadits di atas, diposisikan seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam dapat memajukan pendidikan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka la sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah).
Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadits di atas, diposisikan seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam dapat memajukan pendidikan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
·
Membantu
Fakir-Miskin.
Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin,
peduli kepada sesama, menyantuni kaum papa. Bantuan pemberdayaan dapat
diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material. Hadis
yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:
"Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Orang
yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama
seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.”
Memberikan bantuan finansial dan perlindungan kepada orang miskin
dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.
Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang mem-butuhkan
bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan
memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu,
tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai
dengan pengertian jihad yang sesungguhnya. Pemahaman jihad yang baik dan benar,
berimplikasi positif terhadap perilaku umat Islam. Hasilnya setiap muslim
memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengobarkan
permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan per-damaian. Jihad, juga
dapat mening-katkan etos kerja umat Islam, yaitu dengan semangat dan
kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan.
Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, umat
Islam dapat menggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk
mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya, se-hingga dapat
berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah banyaknya ben-cana dan musibah
yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada
sesama, sangat diperlukan.
6. Keutamaan
Mati Syahid
Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah
ayat al-Qur’an. Di antaranya firman Allah yang menyatakan:
“Dan barang
siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para
pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka
itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa
[4] : 69).
Menurut Tafsar al-Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang
memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argumen atau
penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah
disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela
agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itulah yang benar.
Lain dari itu adalah batil (ar-Razi, 1995: jilid 5, h.180).
Dalam ungkapan yang lain, penulis at-Tafsir al-Wadhih menerangkan,
bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan ke-benaran dengan alasan dan bukti
serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh
(Hijazi, 1969: juz 5, h. 32). Dalam pandangan kedua mufasir itu, senjata yang
diguna-kan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan
pada masa aI-Qur\'an diturunkan.
Menurut penulis Tafsir Majma\' al-Bayan, syuhada adalah
orang¬-orang ter-bunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang
muslim sangat dianjur-kan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh
mendambakan di-bunuh orang kafir sebab perbuaatan itu adalah maksiat. yang
terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakkan kebenaran karena Allah,
mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat
terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh
mendambakan dibunuh oleh orang kafir, sebab perbuatan itu adalah maksiat
(ath-Thabarsi, 1994: jilid 3, h. 121).
Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia
mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir
tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat
ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan: "Barang
siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya
sampai pada derajat ke-syahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya"
(an-Nawawi, 2005:245)
Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SAW.
mengatakan: Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya,
meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005: 245).
Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan
dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang
benar. Selain itu, derajat kesyahidan dapat diperoleh meskipun orang yang
bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak
pada nilai perbuat-an seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan
Allah. Menurut al-Jurjawi, Allah SWT. memberi keutamaan kepada orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: "Mereka
berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh\" (Qs.
at-Taubah [9]: 111).
Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.
Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak
terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka hal itu adalah sesuatu yang jelas dan
dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap
memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan
diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan
perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti
keluarga, harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi, 1997: jilid 2, h. 221-222).
Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang
Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy. Dari
kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70
orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai
syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak
kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka
menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.
Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW.
bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari ganggu-an dan
penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama
kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinah, maka
perang antara kedua belah pihak tak dapat dielakkan. Fakta sejarah tersebut,
sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:
"Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan
mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu
dengan mereka, maka tegarlah. (an-Nawawi,
2005: 248).
Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan Allah terikat dengan
sejumlah ketentuan. Syarat-syarat untuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2)
Islam, 3) Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu
tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan
dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).
Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan
bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni:
muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan
keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih
merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah)
yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan
perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan
tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh
dibunuh, orang yang menjauhi perang tidak halal dibunuh atau ditawan. Islam
juga mengharamkan untuk membunuh wanita, anak-anak, orang sakit, orang tua
jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga
mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air,
mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang
yang ter-luka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan
karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh me-lampaui tempat
penyakit itu berada (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 60).
Ketentuan yang disebutkan di atas merujuk pada sejumlah hadits
Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya Nabi SAW. bersabda:\"Berangkatlah
kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntunan agama
(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak
yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah
harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud)
(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).
Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertim-bangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat. Istilah syahid akhirat digunakan terhadap: a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as-Sunnah (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertim-bangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat. Istilah syahid akhirat digunakan terhadap: a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as-Sunnah (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
Terdapat
beberapa ayat Al-Qur’an yang memuji orang-orang yang mati syahid, di antaranya:
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya"(QS al-Baqarah-12: 154).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur\'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka ber-gembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Qs. at-Taubah- 9:111).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur\'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka ber-gembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Qs. at-Taubah- 9:111).
Keutamaan mati
syahid dapat kita lihat dari firman
Allah dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW. Contohnya
dapat kita baca pada Q.S Ali Imran ayat 169.
"Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezki." (QS. Ali Imran: 169)
Dari Anas,
dari Nabi SAW:
beliau bersabda, "Tiada seorangpun yang telah masuk surga lalu
ingin kembali ke dunia untuk memperoleh sesuatu yang ada di dalamnya kecuali
orang yang mati syahid (syuhada). Dia berharap untuk kembali ke dunia sehingga
terbunuh kembali (sebagai syahid) sebanyak sepuluh kali, karena apa yang
didapakannya dari kemuliaan (bagi para syuhada)." (Muttafaq 'alaihi)
Arwahnya
para syuhada berada di dalam tembolok-tembolok burung berwarna hijau di dalam
sangkar-sangkar yang tergantung di atas Arsy, mereka berterbangan di dalam
surga ke arah mana saja
mereka inginkan, dan para syuhada diberikan enam kemuliaan sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW,
"Sesungguhnya para syuhada mendapatkan enam kemuliaan di sisi Allah: Allah
akan mengampuninya pada waktu darahnya keluar pertama kali dari tubuhnya,
diperlihatkan untuknya tempat duduknya di surga, diberi hiasan dengan perhiasan
iman, dinikahkan dengan tujupuluh dua orang bidadari dari surga, diselamatkan
dari siksa kubur, mendapatkan keamanan dari ketakutan yang sangat besar
(kegoncangan di padang mahsyar), dipakaikan baginya mahkota kerendahan hati
yang sebutir mutiaranya lebih baik dari dunia seisinya, dan diperbolehkan
baginya untuk memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang kerabatnya." (HR.
Sa'id bin Mansur dan Baihaqi dalam Su'ab al Iman–lihat pula Silsilah Hadits
Shohihah No.3213-).
Orang
yang terluka dalam berjihad di jalan Allah akan datang pada hari kiamat dengan
lukanya yang mengeluarkan darah, namun baunya seharum misk, dan mati syahid di
jalan Allah bisa menghapuskan semua dosa-dosa kecuali hutang.
Barangsiapa
yang khawatir ditawan oleh musuh karena tidak mampu menghadapi mereka, maka dia
boleh menyerahkan diri atau melawan hingga mati atau menang.
Barangsiapa
yang memasuki negeri musuh atau menyerang pasukan kafir dengan tujuan
menghancurkan mereka dan menimbulkan ketakutan pada hati-hati musuh, terutama
orang-orang Yahudi yang melampaui batas, kemudian terbunuh maka ia telah
memperoleh pahala para syuhada dan orang-orang yang bersabar dalam berjihad di
jalan Allah.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
teramsuk mati syahid terbagi dalam lima golongan: Orang yang meninggal terkena
wabah penyakit tha'un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati
tenggelam, orang yang mati karena tertimpa benda berat, dan orang yang mati
karena perang di jalan Allah." (Muttafaq 'alaih)
Dari Jabir bin 'Atik bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
teramsuk mati syahid selain yang terbunuh di jalan Allah ada tujuh: Orang yang meninggal terkena wabah penyakit
tha'un termasuk syahid, orang yang mati karena sakit perut termasuk syahid,
orang yang mati tenggelam termasuk syahid, orang yang mati karena tertimpa
benda berat termasuk syahid, orang yang mati karena luka (pada bagian dalam
tubuh) di daerah sekitar pinggang termasuk syahid, orang yang mati terbakar
termasuk syahid, dan wanita yang meninggal karena melahirkan termasuk syahid."
(HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Dari Sa'id bin Zaid aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang
terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid, siapa yang terbunuh karena
membela agamanya termasuk syahid, siapa yang mati terbunuh karena membela
dirinya termasuk syahid, orang yang terbunuh membela keluarganya termasuk
syahid." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
B. Jihad dan terorisme
1. Perbedaan Jihad dan Terorisme
Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang
menya-makan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti
ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan
pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai
Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justeru
melakukan jihad melalui aksi- aksi terorisme. Padahal antara jihad dan
terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Majelis Ulama
Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahat-an terhadap kemanusiaan dan
peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik
(well-organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran
(indiscriminative).” Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala
bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas. Dalam kamus Webster's New School and Office Dictionary
dijelaskan: "terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain
to end; especially a system of government ruling by terror,...” ( Terorisme
adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau meng-hancurkan,
terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui teror). Dari ketiga
definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang
mengancam kedaulatan negara (against state/nation),melawan kemanusiaan (against
humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan. RAND
Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS,
melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap
tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa:
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap
dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya
hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan
demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai
tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan
tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik. Dari
uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan Jihad.
Pertama, terorisme bersifat merusak dan anarkis. Kedua, terorisme bertujuan
untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga,
terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, Jihad
bersifat perbaikan (ishlah), sekalipun sebagian dilakukan dengan berperang.
Jihad bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan atau membela hak pihak yang
terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh
Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Karena itulah, menurut MUI,
hukum melakukan teror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan apapun,
apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan negara Muslim
seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa
syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang
terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegak-kan
agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan
hukum Islam seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua
renta, perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang.
2. Bom Bunuh Diri Bukan Jihad
Saat ini, tindakan bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat,
biasanya sebagai salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak
yang lebih kuat. Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran
yang tidak jelas. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal
dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak
bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering tidak mempunyai kaitan dengan
pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.Pelaku bom bunuh
diri atau pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang
tindakan tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan
hingga akhirnya ia mati terbunuh.
Ada sejumlah hadits yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaranya:
Dari Abu Bakr bin Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: "Saya mendengar ayahku radhiyyalhu 'anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: 'Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang.' Seorang laki- laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: "Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW. mengatakan yang demikian ini?" Abu Musa menjawab: "Ya". Abu Musa berkata:"Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: 'Saya mengucapkan salam kepada kalian.' Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampa-kkannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya ke arah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R. Muslim) (an-Nawawi, 2005: 242).
Dari Abu Bakr bin Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: "Saya mendengar ayahku radhiyyalhu 'anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: 'Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang.' Seorang laki- laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: "Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW. mengatakan yang demikian ini?" Abu Musa menjawab: "Ya". Abu Musa berkata:"Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: 'Saya mengucapkan salam kepada kalian.' Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampa-kkannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya ke arah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R. Muslim) (an-Nawawi, 2005: 242).
Hadis di atas berisi motivasi kepada tentara muslim yang sedang
berhadapan dengan tentara musuh di medan perang. Imbalan berupa surga yang
dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang, membuat anggota pasukan berani
menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang bakal dialaminya, baik yang
berupa cacat fisik maupun kematian. Akan tetapi, kandungan hadits di atas tidak
dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.
Tindakan bom bunuh diri mempunyai karakteristik. Di antaranya:
·
Perbuatan ini
termasuk tindakan bunuh diri atau kematian yang direncanakan.
·
Perbuatan ini
menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan
ketakutan orang banyak.
·
Perbuatan ini
mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang
lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah.
·
Perbuatan ini
mempunyai tujuan yang tidak jelas dan sasaran yang tidak jelas pula.
Seorang ulama terkenal pada zaman ini,
Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu dalam bab Qowaid
al-Jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:
1.
Apabila perbuatan itu
terjadi pada saat bertemunya dua pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu
pasukan Islam dan pasukan musuh.
2.
Apabila penduduk suatu
negeri muslim diserang oleh musuh;
3.
Apabila Amirul
Mukminin, pemimpin negeri muslim, itu memerintahkan warganya untuk pergi ke
medan perang.
Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits yang
tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah:
·
Larangan
Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami
masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (Qs. An-Nisa; [4] :29-30).
·
Larangan
mencelakakan diri sendiri:
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan
(diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah; 2:195).
·
Larangan membunuh
orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah
itu413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi\" (Qs. Al-Maidah [5] :
32)
·
Larangan berputus
asa dari rahmat Allah.
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunguhnya yang
berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf [12] :87)
3. Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri
Mati Syahid
berbeda dengan bom bunuh diri. Pertama, orang yang bunuh diri itu membunuh
dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku mati syahid
mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan ummatnya. Orang yang
bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah,
sedangkan pelaku mati syahid adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju
untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh
diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa dan mencelakakan diri sendiri. Ketiga,
amaliyat al-isytisyhad (tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena
merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang dengan
tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di
pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang Terorisme). Dalam konteks ini
Indonesia memiliki hukum sendiri. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat
semua kaum muslim dan non-muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian
dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat Islam, memiliki
kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya secara damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar